Para peserta telah berdatangan. Hampir seluruh kursi terisi penuh, padahal acara baru akan dimulai satu jam lagi. Memang untuk pembicara yang satu ini tidak pernah sepi dari audiens. Apapun bentuk acaranya baik itu seminar, workshop, bedah buku, bedah film, dll, selalu saja jadi hal yang ditunggu-tunggu oleh para penggemar setia. Termasuk Rona.
Rona
mengisi kursi deretan paling depan. Sembari menunggu acara dimulai, panitia
acara memutarkan musik dari salah satu instrument
khas Indonesia yaitu angklung. Gadis berkacamata itu sangat menikmati
permainan angklung ini, begitu juga peserta lainnya. Sesekali pikirannya
melayang, “Pasti seru ya kalau bisa main angklung.” Ucapnya dalam hati.
Beberapa
alat musik yang dia sukai adalah piano, biola dan angklung. Namun tidak ada
satu pun dari alat itu yang bisa dimainkannya. Jangankan memainkannya,
memegangnya saja belum pernah, hehe.
Mendengar
alunan angklung dengan begitu indah ini, Rona, anak yang cukup mandiri itu jadi
teringat oleh seorang teman di salah satu komunitas yang diikutinya. Sebut saja
Insan namanya. Pertemuan pertama dan mungkin yang terakhir, karena setelah
pertemuan itu tidak pernah lagi dijumpainya sosok yang membuatnya penasaran
itu. Rona memanfaatkan waktu berkenalan dengan Insan sekaligus mencari tau
sebanyak-banyaknya tentang komunitas angklung yang dia ikuti. Dengan begitu
antusiasnya gadis berkacamata itu mendengarkan cerita Insan tentang kegiatan
komunitas angklungnya tersebut, karena memang angklung adalah sesuatu yang
menarik buatnya.
Saking
antusiasnya, Rona menyerang Insan bertubi-tubi dengan berbagai pertanyaan. Namun
waktu begitu cepat berlalu sedangkan rasa penasarannya tentang angklung belum
tuntas. Mereka harus berpisah karena kegiatan komunitas hari itu telah usai,
lalu Insan pun pergi dan tak pernah terlihat lagi batang hidungnya sampai saat
ini.
Insan,
lelaki jangkung berkacamata dengan rambut yang ikal berhasil mencuri perhatian
Rona. Rona berharap dapat bertemu lagi dengannya, tapi harapannya pupus. Dia tidak
pernah lagi bertemu dengan Insan di acara klub yang mereka ikuti.
Peserta
masih terus berdatangan sampai-sampai kursi yang tersedia tidak mencukupi.
Akhirnya pihak panitia menggelar karpet yang cukup besar dan meminta para
peserta yang tidak mendapatkan tempat duduk untuk duduk lesehan di karpet yang
telah disediakan dekat dengan panggung.
Kebanyakan
mereka datang berkelompok. Rona mencoba menerka bahwa mereka seusia mahasiswa
maupun pelajar SMA. Tidak sedikit juga usia yang sudah bekerja bahkan ibu-ibu
dan anak-anak kecil.
Beda
dengan mereka yang datang beramai-ramai, berkelompok. Rona datang seorang diri.
Sepertinya dia sudah mulai terbiasa pergi sendiri kemana pun itu, seminar,
pameran, workshop atau kopdar
komunitas. Bukan karena lebih nyaman atau tidak suka keramaian, tapi lebih
karena teman-teman yang biasa dia ajak kebanyakan adalah para pekerja yang
selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk acara-acara seperti itu.
Panitia
mengumumkan bahwa acara akan segera dimulai dan membacakan susunan acara. Rona
agak sedikit terperanjat ketika dibacakan susunan acara tersebut akan dibuka
dengan penampilan sebuah komunitas angklung. “Wah, pasti seru nih. Bisa liat
permainan angklung live.”, Rona
berkata dalam hati. Dia sudah tidak sabar untuk menikmati alunan angklung yang
menjadi kesukaannya.
Sekumpulan
orang laki-laki dan perempuan menaiki panggung dengan membawa angklung
masing-masing. Mereka begitu unik dengan pakaian khas adat sunda. Puluhan orang
di atas panggung mulai beraksi menyatukan melodi. Alunan angklung yang begitu
indah mulai terdengar. Rona menatap dengan mata yang besinar cerah dan hati
yang bahagia menikmati permainan angklung tersebut.
Sambil
menikmati permainan angklung, wanita penyuka warna ungu itu memperhatikan satu
per satu para pemain angklung. Begitu tatapannya tiba pada sesosok laki-laki
yang merasa dikenalnya, Ia hentikan sejenak perhatiannya pada laki-laki
tersebut untuk memastikan apakah Ia adalah orang yang dikenalnya.
“Insan?”,
suaranya agak keras hingga peserta seminar yang duduk disampingnya menengok ke
arahnya.
Penampilan
angklung yang cukup menghibur dan indah pun berakhir. Ditutup oleh riuhnya tepuk tangan penonton, para pemain satu per satu
turun dari panggung. Demi memuaskan rasa penasarannya, Rona mengikuti kearah
para pemain itu pergi. Matanya tidak berpaling dari sosok yang Ia kenal itu.
Begitu dia mereasa jaraknya sudah semakin dekat dan Ia yakin kalau itu adalah
Insan, Rona mencoba memberanikan diri untuk menyapanya.
“Insan”,
Serunya agk sedikit berteriak, Karena begitu banyaknya orang.
Rona
merasa kecewa karena orang yang Ia panggil berkali-kali tidak mengindahkan
panggilannya. Dia pun semakin mendekatkan diri melangkah dihadapan lelaki
jangkung itu.
Sekali
lagi Rona menyebut namanya, “Insan?”
Lelaki
berkacamata itu pun tesenyum mendengar Rona memanggilnya dengan nama Insan,
lalu dengan sopan berkata, “Maaf, saya bukan Insan.”
Rona
kecewa terpancar di wajahnya. Padahal Ia yakin sekali, matanya tidak salah
lihat. Dia masih mengingat wajah Insan yang dikenalnya di klub komunitas yang
mereka ikuti.
“Tapi
kamu mirip sekali dengan orang yang aku kenal. Namanya Insan.” Terangnya.
“Maaf,
mungkin kamu salah orang.”, Dengan sopan laki-laki itu menjawab.
“Baiklah
kalau begitu, aku minta maaf.” Rona pergi menghilang dari hadapan lelaki
jangkung itu dengan rasa kecewa yang mendalam karena dia bukan lelaki angklung
yang selama ini dinantikan kehadirannya.
Sementara
itu seminar telah dimulai sejak beberapa menit lalu, namun Rona pergi entah
kemana. Lelaki angklung yang dinantinya benar-benar tidak ada dan tidak akan
pernah ada harapan untuk bertemu dengannya lagi.
nice story. tp, agaknya alur dan endingnya lbh bagus klo dimodif lagi. lanjutkan!
ReplyDelete