Saturday 4 April 2015

Lelaki Angklung


 
Para peserta telah berdatangan. Hampir seluruh kursi terisi penuh, padahal acara baru akan dimulai satu jam lagi. Memang untuk pembicara yang satu ini tidak pernah sepi dari audiens. Apapun bentuk acaranya baik itu seminar, workshop, bedah buku, bedah film, dll, selalu saja jadi hal yang ditunggu-tunggu oleh para penggemar setia. Termasuk Rona.
 
Rona mengisi kursi deretan paling depan. Sembari menunggu acara dimulai, panitia acara memutarkan musik dari salah satu instrument khas Indonesia yaitu angklung. Gadis berkacamata itu sangat menikmati permainan angklung ini, begitu juga peserta lainnya. Sesekali pikirannya melayang, “Pasti seru ya kalau bisa main angklung.” Ucapnya dalam hati.


Beberapa alat musik yang dia sukai adalah piano, biola dan angklung. Namun tidak ada satu pun dari alat itu yang bisa dimainkannya. Jangankan memainkannya, memegangnya saja belum pernah, hehe.

Mendengar alunan angklung dengan begitu indah ini, Rona, anak yang cukup mandiri itu jadi teringat oleh seorang teman di salah satu komunitas yang diikutinya. Sebut saja Insan namanya. Pertemuan pertama dan mungkin yang terakhir, karena setelah pertemuan itu tidak pernah lagi dijumpainya sosok yang membuatnya penasaran itu. Rona memanfaatkan waktu berkenalan dengan Insan sekaligus mencari tau sebanyak-banyaknya tentang komunitas angklung yang dia ikuti. Dengan begitu antusiasnya gadis berkacamata itu mendengarkan cerita Insan tentang kegiatan komunitas angklungnya tersebut, karena memang angklung adalah sesuatu yang menarik buatnya.

Saking antusiasnya, Rona menyerang Insan bertubi-tubi dengan berbagai pertanyaan. Namun waktu begitu cepat berlalu sedangkan rasa penasarannya tentang angklung belum tuntas. Mereka harus berpisah karena kegiatan komunitas hari itu telah usai, lalu Insan pun pergi dan tak pernah terlihat lagi batang hidungnya sampai saat ini.

Insan, lelaki jangkung berkacamata dengan rambut yang ikal berhasil mencuri perhatian Rona. Rona berharap dapat bertemu lagi dengannya, tapi harapannya pupus. Dia tidak pernah lagi bertemu dengan Insan di acara klub yang mereka ikuti.

Peserta masih terus berdatangan sampai-sampai kursi yang tersedia tidak mencukupi. Akhirnya pihak panitia menggelar karpet yang cukup besar dan meminta para peserta yang tidak mendapatkan tempat duduk untuk duduk lesehan di karpet yang telah disediakan dekat dengan panggung.

Kebanyakan mereka datang berkelompok. Rona mencoba menerka bahwa mereka seusia mahasiswa maupun pelajar SMA. Tidak sedikit juga usia yang sudah bekerja bahkan ibu-ibu dan anak-anak kecil.

Beda dengan mereka yang datang beramai-ramai, berkelompok. Rona datang seorang diri. Sepertinya dia sudah mulai terbiasa pergi sendiri kemana pun itu, seminar, pameran, workshop atau kopdar komunitas. Bukan karena lebih nyaman atau tidak suka keramaian, tapi lebih karena teman-teman yang biasa dia ajak kebanyakan adalah para pekerja yang selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk acara-acara seperti itu.

Panitia mengumumkan bahwa acara akan segera dimulai dan membacakan susunan acara. Rona agak sedikit terperanjat ketika dibacakan susunan acara tersebut akan dibuka dengan penampilan sebuah komunitas angklung. “Wah, pasti seru nih. Bisa liat permainan angklung live.”, Rona berkata dalam hati. Dia sudah tidak sabar untuk menikmati alunan angklung yang menjadi kesukaannya.

Sekumpulan orang laki-laki dan perempuan menaiki panggung dengan membawa angklung masing-masing. Mereka begitu unik dengan pakaian khas adat sunda. Puluhan orang di atas panggung mulai beraksi menyatukan melodi. Alunan angklung yang begitu indah mulai terdengar. Rona menatap dengan mata yang besinar cerah dan hati yang bahagia menikmati permainan angklung tersebut.

Sambil menikmati permainan angklung, wanita penyuka warna ungu itu memperhatikan satu per satu para pemain angklung. Begitu tatapannya tiba pada sesosok laki-laki yang merasa dikenalnya, Ia hentikan sejenak perhatiannya pada laki-laki tersebut untuk memastikan apakah Ia adalah orang yang dikenalnya.

“Insan?”, suaranya agak keras hingga peserta seminar yang duduk disampingnya menengok ke arahnya.

Penampilan angklung yang cukup menghibur dan indah pun berakhir. Ditutup oleh riuhnya tepuk tangan penonton, para pemain satu per satu turun dari panggung. Demi memuaskan rasa penasarannya, Rona mengikuti kearah para pemain itu pergi. Matanya tidak berpaling dari sosok yang Ia kenal itu. Begitu dia mereasa jaraknya sudah semakin dekat dan Ia yakin kalau itu adalah Insan, Rona mencoba memberanikan diri untuk menyapanya.

“Insan”, Serunya agk sedikit berteriak, Karena begitu banyaknya orang.
Rona merasa kecewa karena orang yang Ia panggil berkali-kali tidak mengindahkan panggilannya. Dia pun semakin mendekatkan diri melangkah dihadapan lelaki jangkung itu.

Sekali lagi Rona menyebut namanya, “Insan?”

Lelaki berkacamata itu pun tesenyum mendengar Rona memanggilnya dengan nama Insan, lalu dengan sopan berkata, “Maaf, saya bukan Insan.”

Rona kecewa terpancar di wajahnya. Padahal Ia yakin sekali, matanya tidak salah lihat. Dia masih mengingat wajah Insan yang dikenalnya di klub komunitas yang mereka ikuti.

“Tapi kamu mirip sekali dengan orang yang aku kenal. Namanya Insan.” Terangnya.

“Maaf, mungkin kamu salah orang.”, Dengan sopan laki-laki itu menjawab.

“Baiklah kalau begitu, aku minta maaf.” Rona pergi menghilang dari hadapan lelaki jangkung itu dengan rasa kecewa yang mendalam karena dia bukan lelaki angklung yang selama ini dinantikan kehadirannya.

Sementara itu seminar telah dimulai sejak beberapa menit lalu, namun Rona pergi entah kemana. Lelaki angklung yang dinantinya benar-benar tidak ada dan tidak akan pernah ada harapan untuk bertemu dengannya lagi.

   


1 comment:

  1. nice story. tp, agaknya alur dan endingnya lbh bagus klo dimodif lagi. lanjutkan!

    ReplyDelete