Setelah
pertemuan lalu si juru dakwah on the street menyelamatkan Gita dari aksi
pencopetan, pada pertemuan kali ini Gita memutuskan untuk ikut turun dari bus
yang sama dengan yang tumpangi si juru dakwah on the street itu. setelah
mengucapkan terima kasih, si juru dakwan pun tidak bisa berlama-lama ngobrol
bareng Gita karena harus meneruskan perjalanan. Seketika melompatlah si juru
dakwah on the street itu ke atas bus.
“Mas,
namanya siapa?” tanya Gita sedikit berteriak karena bus yang dinaiki si juru
dakwah on the street segera melaju.
“Yudi,”
jawab si juru dakwah yang juga sambal berteriak.
“Siapa?!”
bisingnya jalanan ditambah bus yang sudah semakin menjauh membuat Gita tidak
bisa mendengar jelas suara si juru dakwah.
“Yudhistira
Arifin,” suara Yudi semakin tak jelas terdengar oleh Gita seiring menghilangnya
bus.
“Fi
Sabilillah??” gumam Gita.
Sejak
saat itu Gita menyebutnya dengan Mas Fi Sabilillah.
Hahaha,
gara-gara tidak terdengar jelas, nama Yudi versi Gita jadi Fi Sabilillah.
Kata-kata itu melekat dalam ingatan Gita karena dalam khutbahnya Yudi sering
menyebut-nyebut kata fi sabilillah.
Sepenggal
adegan di atas terdapat dalam film yang saat ini sedang banyak dibicarakan
orang, “Ketika Mas Gagah Pergi”, terutama pengamat film dan penggiat literasi. Film
yang diangkat dari novel karya bunda Helvy Tiana Rosa dengan judul yang sama
ini akhirnya tayang juga di bioskop-bioskop Indonesia. Film yang telah saya
nanti sejak bertahun-tahun lalu akhirnya dapat
saya nikmati pada tayangan perdananya 21 Januari 2016, di PLaza Senayan, bersama beberapa
teman penggiat literasi di Forum Lingkar Pena cabang Jakarta.
Pemain
utama dalam film ini adalah hasil audisi yang dilakukan oleh bunda Helvy
sendiri sesuai dengan karakter tokoh dalam novelnya. Dari hasil audisi itu
terpilihlah empat orang anak muda berbakat, mereka adalah Hamas sebagai Gagah,
Masaji sebagai Yudi, Aquino sebagai Gita dan Izzah sebagai Nadia.
Film
ini mengisahkan seorang adik kakak yang selalu kompak, Gagah dan Gita, keduanya
adalah figur anak muda metropolitan yang hidupnya serba kecukupan dan penuh
dengan kesenangan serta hura-hura. Namun semua itu berakhir seiring berubahnya
Mas Gagah, panggilan Gita pada kakaknya, menjadi lebih relijius setelah
kepulangannya dari Ternate, tempat di mana ia menjalani penelitian skripsinya.
Perubahan
itu sangat disesalkan oleh Gita. Ia menganggap kakaknya tidak sayang lagi,
tidak seasyik dulu dan tidak peduli lagi padanya. Kegiatan Mas Gagah pun
berubah dari yang suka nonton konser, nongki-nongki canci bareng Gita dan
teman-temannya, menjadi lebih sering mengaji, membaca buku dan membantu
anak-anak dhuafa.
Gita
tidak suka dengan Mas Gagah yang selalu menasihatinya, tidak boleh ini itu dan
selalu bicara soal agama. Hal itu membuat hubungan Gita dan kakaknya menjadi
renggang. Gita yang dulu selalu di antar ke sekolah oleh Mas Gagah, memutuskan
untuk pergi sekolah naik kendaraan umum. Nah, di sinilah pertemuan Gita dan
Yudi bermula.
Beberapa
kali naik bus, Gita selalu berpapasan dengan si juru dakwah on the street. Yudi
adalah seorang pemuda yang suka menolong siapa saja yang membutuhkan
bantuannya. Seorang anak dari kiai yang diperankan oleh Matias Muchus yang mengelola
sebuah pesantren. Abah (ayah Yudi) tidak suka dengan kegiatan Yudi yang
berdakwah dari satu bus ke bus lain. Menurutnya dakwah itu ya pesantren, di
masjid, bukan di jalanan.
Saya
menikmati adegan demi adegan, dialog demi dialog. Film yang sarat makna dan
menginspirasi ini sangat layak ditonton oleh remaja masa kini yang hidupnya dipenuhi
oleh dunia hura-hura dan kesenangan belaka. Padahal anak muda seharusnya bisa
menjadi agen perubahan yang baik bagi generasinya.
Selain
dari konten film yang memang menarik dan layak tonton, tidak dipungkiri bahwa
masih terdapat beberapa kekurangan di dalamnya. Para pemain utama yang
terbilang masih baru di dunia perfilman terlihat masih kaku dalam acting dan
pengucapan dialog-dialognya. Namun itu bukanlah masalah yang besar bagi saya.
Menurut saya sesuatu yang baru memang terlihat kurang sempurna pada awalnya,
seiring berjalannya waktu para artis tersebut dapat memaksimalkan kemampuannya
dengan lebih baik lagi.
Yang
paling berkesan buat saya adalah pemeran Gita yaitu Aquino Umar yang cukup
membuat penonton kagum. Dalam memerankan tokoh Gita, ia dapat menampilakan acting
yang memukau. Semoga Noy- sapaan akbrab Aquino- dan ketiga pemeran lainnya
mendapat pelajaran berharga dari perannya di film ini dan Allah senantiasa
memberikan hidayah menuju keshalihan.
Film
ini merupakan film keluarga yang cocok ditonton oleh siapa saja. secara
keseluruhan saya menikmati film ini dan tidak sabar menantikan kisah seru
selanjutnya. O, ya. Sebagian royalti yang didapat dari film ini akan
disumbangkan untuk dunia pendidikan di Indonesia Timur dan Palestina. Dengan
menonton film Ketika Mas Gagah Pergi, berarti kita turut mendukung
perjuangan Palestina.
Semoga
media dakwah melalui film ini dapat menjadi pelopor film-film Islami
berkualitas lainnya. Dan tetap pada jalan dakwah fi sabilillah.
Terakhir
pesan dari Yudi untuk kita semua, “Hijrah adalah pindah, move on ke sesuatu
yang lebih baik. Meninggalkan kemaksiatan dan kemungkaran dalam hati, perkataan
dan perbuatan.”
Dapat goody bag keren buat penonton presale,,,yey |
Teman-teman FLP Jakarta |
Bersama Ali Syakieb yang berperan sebagai copet dalam film KMGPthemovie |
No comments:
Post a Comment