Saya
tidak terlalu suka membaca buku terjemahan. Tapi bukan berarti tidak pernah
membacanya. Kenapa saya jarang baca buku terjemahan? Karena dari beberapa buku
terjemahan yang pernah saya baca terasa membosankan, mungkin itu pengaruh dari
gaya bahasa atau cara menerjemahkan yang kurang bisa saya pahami. Dari situ
saya mengambil kesimpulan, buku-buku yang ditulis oleh penulis-penulis
Indonesia lebih berbobot dan mengasyikkan. Itu sih menurut saya pribadi, hehe.
Beberapa
hari yang lalu saya baru saja menyelesaikan novel terjemahan yang berjudul
“Will Grayson”, hasil duet John Green dan saya-lupa-siapa-penulis-satunya.
Sebelum membaca buku ini, seorang teman sudah memperingati saya bahwa buku ini
agak membosankan dan dia tidak mengerti jalan ceritanya. Tapi saya berpikir,
boleh jadi bagi teman saya buku ini membosankan, belum tentu saya berpendapat
yang sama. Oleh karna itu saya memutuskan untuk tetap membacanya.
Setelah
membaca beberapa bab awal, ternyata apa yang teman saya katakana tentang buku
ini, benar adanya. Saya tidak paham dengan cerita yang dituliskan. Tapi sekali
lagi, saya memutuskan untuk tetap membacanya.
Buku
ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki SMA yang gay. Tokoh utamanya
bernama Wiil Grayson, dan yang menariknya ada dua Will Grayson yang diceritakan
dalam novel ini. Dua orang yang berbeda dengan nama yang sama. Jika bicara
tentang tema, saya kurang suka dengan tema novel ini. Jadi saya tidak akan
menuliskan jalan cerita yang lebih panjang. Tapi saya akan membahas mengenai
gaya penulisan dalam novel ini.
Bagi
saya novel ini aneh bila dilihat dari segi EYD. Pasalnya selama ini buku yang
saya baca semua tersusun sesuai dengan kaidah penulisan yang saya pahami itu
benar. Misalnya, huruf kapital di awal kalimat, nama orang, nama kota, dll.
Dialog diapit oleh tanda kutip. Juga keefektifan sebuah kalimat. Tapi
sepertinya semua kaidah itu tidak berlaku di novel ini.
Jadi,
keanehan yang saya temukan begini, bab satu ditulis sesuai EYD, bab dua tanpa
EYD, dan begitu seterusnya, bergantian hingga bab akhir. Bab yang tidak sesuai
dengan EYD ditulis tidak menggunakan huruf kapital di awal kalimat pun dengan
nama orang, dialog tidak menggunakan tanda petik (“ “), melainkan titik dua (:) setelah nama
tokoh yang sedang berbicara.
Aku:
Maura:
Begitu
juga dengan penggunaan kata penghubung seperti “dan”. Dalam sebuah kalimat yang
tertulis beberapa nama orang, ditulis dalam bentuk Erik dan Mary dan Greta.
Sedangkan yang saya pahami selama ini, kata “dan” bisa diganti dengan “koma”,
menjadi Erik, Mary dan Greta. Bagi saya model penulisan seperti ini aneh, dan
baru saya temukan dalam novel ini. Saya jadi bertanya-tanya, apakah di setiap
negara mempunyai aturan EYD yang berbeda atau disamakan semua dengan merujuk
satu sumber?
Bila
teman-teman ada yang mengetahui jawaban dari pertanyaan saya di atas, bolehkah
dibagi ilmunya?
Terima
kasih ^^
No comments:
Post a Comment