Judul : Sunnah Sedirham Surga
Penulis : Salim A. Fillah
Penerbit : Pro-U Media
Terbit : 2017
Tebal : 268 halaman
Setiap
membaca buku yang bergizi, mulai dari tema yang menarik, pemilihan diksi yang
beragam sampai fakta-fakta baru yang belum pernah diketahui, selalu membuat
saya takjub oleh penulisnya, terharu oleh setiap kisah yang tertulis dan
langsung menyadari bahwa diri ini teramat miskin akan ilmu.
Hal
itu juga terjadi pada saat saya membaca buku ini. Ditulis oleh penulis
sekaligus seorang ustaz yang kebanyakan tulisannya begitu puitis dengan
pemilihan diksi yang tidak biasa. Membaca kisah-kisah para sahabat Nabi dan
ulama-ulama di masanya membuat saya terpesona, bangga dan haru menjadi satu.
Saya pun berpikir “seandainya semua orang membaca buku ini”.
Ya,
saya ingin sekali orang lain merasakan apa yang saya rasa saat membaca buku
ini. Ah, tapi tentu saja setiap orang punya penilaian sendiri terhadap sesuatu,
termasuk buku. Boleh jadi saya menilai buku ini sangat bermanfaat dengan
menyajikan ilmu-ilmu baru yang belum saya ketahui, orang lain belum tentu
menilai sama seperti saya. Begitupun sebaliknya, boleh jadi orang lain menilai
sebuah buku tertentu sangat bagus, sedangkan menurut saya biasa saja bahkan membosankan.
Buku
ini membawa kita menengok kisah-kisah menarik para ulama besar di zaman dulu.
Sebagian besar kisahnya baru saya ketahui setelah membaca buku ini. Beberapa
kisah lainnya ada yang sudah saya tahu sebelumnya. Yang membuat saya kagum
sekaligus terharu, yakni kisah para ulama yang berbeda pandangan tapi saling
mencintai satu sama lain.
Adalah Mbah Hasyim yang menulis jurnal yang
diterbitkan NU tentang hukum pemakaian kenthongan untuk memanggil salat. Beliau
berpendapat kenthongan itu bid’ah karena tidak ada dalil yang dapat
mengukuhkannya. Sedangkan bedhug masih diperbolehkan karena adanya hadist
tentang kebolehan menabuh “duff”.
Sementara
itu, Kyai Faqih Maskumambang menulis pada jurnal yang sama edisi berikutnya
tentang hukum kenthongan “tidak mengapa” karena diqiyaskan dengan hukum bedhug
dan bukan bid’ah.
Suatu
hari Mbah Hasyim diundang ke pesantren Maskumambang oleh Kyai Faqih. Maka Kyai
Faqih beberapa hari sebelumnya menyuruh para santri untuk menurunkan bedhug dan
kenthongan demi membuat nyaman Mbah Hasyim. Beberapa bulan berikutnya, giliran
Kyai Faqih diundang ke Tebuireng. Lalu, Mbah Hasyim meminta santrinya untuk
meminjam bedhug sementara.
Para
santri pun dibuat bingung, “Jadi mana yang lebih shahih?” tanya santri.
“Kalau
ulama sudah berpendapat, ummat ringan beramal. Boleh memakai pendapat saya atau
mengamalkan dhawuhnya Kyia Faqih,” jawab Mbah Hasyim dengan tersenyum.
Alangkah
indahnya apabila perbedaan pendapat seperti ini tidak menimbulkan saling
mencela dan merendahkan satu sama lain. Yang terpenting ialah masing-masing
pendapat didasarkan oleh hukum yang berpedoman pada Al-qur’an dan sunnah.
Selain
kisah orang-orang salih yang sangat menarik, buku ini dilengkapi dengan
gambar-gambar kegiatan Ustaz Salim A. Fillah bersama ulama-ulama lain, seperti
Ustaz Arifin Ilham, Ustaz Firanda Andirja, Ustaz Hidayat Nur Wahid, Ustaz
Fauzil Adhim, dan lain-lain.
Satu
kekurangan buku ini, yaitu penggunaan tanda baca yang kurang tepat. Sejauh pemahaman
saya, apabila sebuah kalimat diakhiri dengan tanda tanya (?) atau tanda seru
(!), maka tidak perlu membubuhkan koma (,) atau titik (.) setelahnya. Namun, di
buku ini tidak berlaku. Kekeliruan kecil ini tidaklah mengurangi gizi dari buku
ini. Pembaca masih tetap mendapatkan manfaat besar dari isinya.
Begitu
banyak kisah yang baru saya ketahui dan membuat saya merasa bahagia telah
membacanya. Sungguh saya ingin orang lain pun merasakan hal yang sama. Dan
semoga dapat menjadi wasilah kita meniti jalan menuju Surga dengan mengamalkan
perintah Allah dan sunnah Nabi-Nya.
No comments:
Post a Comment