Tuesday 24 July 2018

Belajar Dari Kisah Ulama Terdahulu



Judul               : Sunnah Sedirham Surga
Penulis             : Salim A. Fillah
Penerbit           : Pro-U Media
Terbit               : 2017
Tebal               : 268 halaman

Setiap membaca buku yang bergizi, mulai dari tema yang menarik, pemilihan diksi yang beragam sampai fakta-fakta baru yang belum pernah diketahui, selalu membuat saya takjub oleh penulisnya, terharu oleh setiap kisah yang tertulis dan langsung menyadari bahwa diri ini teramat miskin akan ilmu.

Hal itu juga terjadi pada saat saya membaca buku ini. Ditulis oleh penulis sekaligus seorang ustaz yang kebanyakan tulisannya begitu puitis dengan pemilihan diksi yang tidak biasa. Membaca kisah-kisah para sahabat Nabi dan ulama-ulama di masanya membuat saya terpesona, bangga dan haru menjadi satu. Saya pun berpikir “seandainya semua orang membaca buku ini”. 


Ya, saya ingin sekali orang lain merasakan apa yang saya rasa saat membaca buku ini. Ah, tapi tentu saja setiap orang punya penilaian sendiri terhadap sesuatu, termasuk buku. Boleh jadi saya menilai buku ini sangat bermanfaat dengan menyajikan ilmu-ilmu baru yang belum saya ketahui, orang lain belum tentu menilai sama seperti saya. Begitupun sebaliknya, boleh jadi orang lain menilai sebuah buku tertentu sangat bagus, sedangkan menurut saya biasa saja bahkan membosankan.

Buku ini membawa kita menengok kisah-kisah menarik para ulama besar di zaman dulu. Sebagian besar kisahnya baru saya ketahui setelah membaca buku ini. Beberapa kisah lainnya ada yang sudah saya tahu sebelumnya. Yang membuat saya kagum sekaligus terharu, yakni kisah para ulama yang berbeda pandangan tapi saling mencintai satu sama lain.

 Adalah Mbah Hasyim yang menulis jurnal yang diterbitkan NU tentang hukum pemakaian kenthongan untuk memanggil salat. Beliau berpendapat kenthongan itu bid’ah karena tidak ada dalil yang dapat mengukuhkannya. Sedangkan bedhug masih diperbolehkan karena adanya hadist tentang kebolehan menabuh “duff”.

Sementara itu, Kyai Faqih Maskumambang menulis pada jurnal yang sama edisi berikutnya tentang hukum kenthongan “tidak mengapa” karena diqiyaskan dengan hukum bedhug dan bukan bid’ah.

Suatu hari Mbah Hasyim diundang ke pesantren Maskumambang oleh Kyai Faqih. Maka Kyai Faqih beberapa hari sebelumnya menyuruh para santri untuk menurunkan bedhug dan kenthongan demi membuat nyaman Mbah Hasyim. Beberapa bulan berikutnya, giliran Kyai Faqih diundang ke Tebuireng. Lalu, Mbah Hasyim meminta santrinya untuk meminjam bedhug sementara.

Para santri pun dibuat bingung, “Jadi mana yang lebih shahih?” tanya santri.

“Kalau ulama sudah berpendapat, ummat ringan beramal. Boleh memakai pendapat saya atau mengamalkan dhawuhnya Kyia Faqih,” jawab Mbah Hasyim dengan tersenyum.

Alangkah indahnya apabila perbedaan pendapat seperti ini tidak menimbulkan saling mencela dan merendahkan satu sama lain. Yang terpenting ialah masing-masing pendapat didasarkan oleh hukum yang berpedoman pada Al-qur’an dan sunnah.

Selain kisah orang-orang salih yang sangat menarik, buku ini dilengkapi dengan gambar-gambar kegiatan Ustaz Salim A. Fillah bersama ulama-ulama lain, seperti Ustaz Arifin Ilham, Ustaz Firanda Andirja, Ustaz Hidayat Nur Wahid, Ustaz Fauzil Adhim, dan lain-lain.

Satu kekurangan buku ini, yaitu penggunaan tanda baca yang kurang tepat. Sejauh pemahaman saya, apabila sebuah kalimat diakhiri dengan tanda tanya (?) atau tanda seru (!), maka tidak perlu membubuhkan koma (,) atau titik (.) setelahnya. Namun, di buku ini tidak berlaku. Kekeliruan kecil ini tidaklah mengurangi gizi dari buku ini. Pembaca masih tetap mendapatkan manfaat besar dari isinya.

Begitu banyak kisah yang baru saya ketahui dan membuat saya merasa bahagia telah membacanya. Sungguh saya ingin orang lain pun merasakan hal yang sama. Dan semoga dapat menjadi wasilah kita meniti jalan menuju Surga dengan mengamalkan perintah Allah dan sunnah Nabi-Nya.


No comments:

Post a Comment