Melihat
cover buku ini pertama kali, saya pikir buku ini kebasahan, ketumpahan air atau
kehujanan, karena sebagian huruf pada judulnya pudar. Rupanya buku ini memang
didesain layaknya sebuah buku yang kebasahan terkena air hujan, seperti judulnya
“Hujan Bulan Juni”. Bukunya tidak terlalu tebal, hanya 135 halaman saja. Jauh
sekali dari novel yang biasa saya baca, lebih dari 200 halaman.
Di
halaman-halaman awal saya kurang paham ceritanya tentang apa, semakin dibaca
barulah saya mengerti. Bercerita tentang dua orang yang saling menyukai tapi
berbeda suku dan agama. Sarwono berasal dari Solo beragama Islam, sedangkan
Pingkan berasal dari Menado beragama Kristen. Ceritanya lebih kepada pergulatan
batin tentang perbedaan-perbedaan pada kedua tokoh utama tersebut.
Sarwono
merupakan seorang dosen sekaligus penulis puisi yang tulisannya sering muncul
di surat kabar. Pingkan pun seorang dosen yang lebih sering menyebut tulisan
Sarwono adalah tulisan yang cengeng. Sarono digambarkan sebagai seorang yang
bertubuh kurus dan tak lepas dari rokok yang mengakibatkan dirinya mengidap
penyakit paru-paru. Sedangkan Pingkan adalah seorang perempuan cantik dan
cerdas.
Kecerdasan
Pingkan dibuktikan dengan dikirimnya dia ke Jepang untuk melanjutkan studi.
Sarwono sebenarnya tidak suka Pingkan pergi ke Jepang, karena itu berarti mereka
akan berpisah jarak untuk waktu yang lama.
Membaca
novel ini saya tidak merasakan ada sesuatu yang greget. Semuanya datar, biasa
saja dan kurang memainkan emosi pembaca, menurut saya pribadi. Tidak ada senang, bahagia, sedih,
kaget, dll. Memang, Bahasa yang digunakan unik, cerdas dan nyastra, tapi
rupanya Bahasa yang nyastra itu tidak sepenuhnya mudah dipahami oleh pembaca,
apalagi pembaca yang awam seperti saya.
Lepas
dari itu semua, ada kalimat membuat saya tergelitik,
“Kamu
memang suka makan, itu jelas, hanya saja yang kamu keluarkan bukan kotoran tapi
vitamin. Ya gimana bisa gemuk?” (hlm. 15)
Novel ini lebih banyak narasi daripada dialognya. Dialognya bisa dibilang sedikit sekali, tapi sepertinya penulis membuat banyak dialog yang terkesan hanya suara hati atau pikiran si tokoh saja. Dialog-dialog tersebut dicetak miring tanpa tanda kutip.
Hingga
tiba di bagian ending, perasaan saya tetap sama, datar. Sepertinya ending-nya
dibuat seperti tidak tuntas, pembaca dipersilakan menerka-nerka akhir dari
kisah percintaan Sarwono dan Pingkan.
Meski
saya menilai kurang pada novel ini, teman-teman yang sudah membaca menilai
berbeda. Mereka kebanyakan sangat menyukai novel ini. Yah, penilaian setiap
orang berbeda walau buku yang dibaca sama. Saya pun menyadari kemampuan saya
masih kurang dalam memahami sastra. Jadi saya harus memperbanyak bacaan sastra
dan mempelajarinya. Dan buku ini menjadi salah satu sarana saya belajar
sastra.
thank reviewnya
ReplyDeleteSama2 Tira. Makasih udah mampir :)
Delete