Judul : Buku Ini Tidak Dijual
Penulis : Henny Alifah
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : Maret, 2015
Tebal : 192 halaman
Padi
terkejut mendapati rak bukunya kosong melompong. Ingin marah, teriak dan
mengungkapkan rasa kesal kepada ayah, tidak kuasa ia lakukan. Masih tersimpan
ingatan tidak diperbolehkannya seorang anak berkata kasar kepada orang tua.
Padi pun akhirnya lemah lunglai terduduk di depan pintu dan bergumam, “buku ini
tidak dijual, buku ini tidak dijual, buku ini tidak dijual”.
Gading,
anak Padi, yang sedikit banyak memiliki andil dalam proses penjualan buku-buku
koleksi ayahnya merasa bersalah telah membantu kakek memasukkan buku-buku itu
ke dalam karung untuk dijual ke tukang loak. Tak sanggup mendengar perdebatan
ayah dengan kakeknya, Gading ingin menembus kesalahan dengan mengejar mobil pick up
yang membawa buku-buku ayahnya.
Bersama
Kingkin, sepupunya, Gading pergi menyusuri desa hingga kecamatan dan kabupaten
desanya. Beberapa peristiwa terjadi selama dalam perjalanan mengejar lima
karung buku ayahnya. Gading hampir mati demi mendapatkan kembali buku-buku
ayahnya. Sementara Kingkin harus berhadapan dengan perampok karena pulang larut
malam dan melewati jalanan sepi yang menjadi sasaran aksi perampok.
Dalam
pencarian kembali buku-buku ayahnya, Gading merasa penasaran mengapa ayahnya
sangat mencintai buku-buku itu. Bahkan buku-buku pelajan, koran dan majalah
yang sudah tua masih disimpannya. Sementara kakek sudah jengah dengan rumahnya
yang dipenuhi tumpukan buku-buku yang dirinya sendiri pun sudah tak sanggup membaca karena penglihatannya
sudah mulai kabur.
Rasa
penasaran Gading akhirnya terjawab. Ia baru tahu mengapa ayahnya sangat
menginginkan buku-buku itu kembali. Ternyata ada satu rahasia yang selama ini
tidak diketahui Gading dan Kakek. Satu rahasia itu membuat kakek menyesal telah
berbuat sekehendaknya.
Keseruan
novel ini baru terasa di bab-bab menjelang akhir. Dari awal saya sudah
penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi pada buku-buku Padi yang dijual kakek.
Dengan sabar saya menyelesaikan membaca novel ini sampai akhir, dan ternyata
ending tidak mengecewakan. Novel ini unik dengan tema yang jarang saya temui.
Novel dengan “buku” sebagai tema besarnya ini awalnya saya pikir adalah sebuah
buku non fiksi, ternyata saya salah.
Ditulis
dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna, novel ini sangat cocok untuk
mengisi waktu santai sambil minum teh atau kopi. Karakternya tidak banyak,
sehingga pembaca tidak perlu pusing dengan siapa-siapa saja tokoh yang ada dalam
cerita. Bersetting adat jawa, dialog-dialog dalam novel ini diselingi dengan bahasa
Jawa dan disertai terjemahan pada footnote.
Ada
kutipan menarik dari buku ini yang sedikit banyak saya setuju.
“Orang yang pandai itu bukan mereka yang banyak menyandang gelar akademik. Tetapi orang yang pandai adalah mereka yang banyak membaca buku”
Bagi
saya yang menyukai membaca, saya bukanlah orang yang pandai, sama sekali bukan.
Sebaliknya, saya hanyalah orang bodoh yang berusaha mencuri ilmu
sebanyak-banyaknya dari buku-buku yang saya baca. Bahkan karena bodohnya, hanya
sedikit yang berhasil menetap lama di otak saya. Maka dari itu, saya harus
terus membaca, membaca dan membaca, agar yang sedikit itu setidaknya dapat
bertambah.
No comments:
Post a Comment