Thursday 14 March 2019

ANTARA DILAN DAN UPIN IPIN

pixabay


Kemarin saya dibuat terpana oleh dua orang anak kecil. Yang satu siswa saya, satu lagi calon siswa. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka membuat saya ingin tertawa sekaligus miris. Keduanya mengungkapkan pengalaman mereka berkaitan dengan sebuah tontonan. Siswa saya kelas 2 SD terpengaruh oleh film layar lebar remaja yang sangat diminati oleh banyak orang, yaitu Dilan. Sedangkan calon siswa saya terpengaruh oleh film kartun yang disukai hampir semua anak kecil, jangankan anak kecil, saya pun memfavoritkannya, yakni Upin Ipin.

Seberapa berpengaruhnya sebuah tontonan terhadap anak-anak?


Pengaruhnya tentu saja sangat besar. Jika yang ia tonton mengandung sebuah kebaikan, anak tersebut tidak akan menunggu waktu lama untuk menyalin kebaikan itu ke dalam kepribadiannya. Sebaliknya, jika sebuah tontonan mengandung sesuatu yang negatif, anak pun akan dengan mudah menirunya.

Jadi, yang terjadi dengan kedua siswa saya tersebut adalah sebagai berikut:

Siswa pertama kelas 2 SD datang ke kelas dengan masih menggunakan seragam sekolah putih-merah dan dibalut sebuah jaket blue jins. Ketika sedang mengerjakan tugas dan saya hampiri ke mejanya, tiba-tiba dia bertanya, “Miss, aku mirip Dilan ngga?”

Reaksi muka saya saat itu menampilkan sebuah mimik terkejut, sedikit menahan tawa dan keheranan, “Dilan?” kata saya memastikan.

“Iya, miss. Aku mirip Dilan ngga?” tanyanya sekali lagi, “temen-temen aku bilang, aku mirip Dilan, karena aku pakai jaket ini. Dilan kan pakai jaket kayak gini, miss.” Lanjutnya.

Saya masih terkejut dengan kata-katanya, sambil tidak tahan untuk tertawa. “Emang kenapa sih mau mirip kayak Dilan?” tanyaku.

“Ya, gak papa, miss. Nanti aku mau bikin geng Dilan di sekolah. Temen-temen yang cowok aku kumpulin, trus semuanya pakai jaket kayak gini.” Ujarnya sambil menunjuk ke jaket yang ia pakai.

Tak disangka anak SD pun terkena demam Dilan. Saya tidak yakin anak itu menonton film Dilan di bioskop, karena asumsi saya orang tuanya tidak mungkin mengajak anaknya untuk menonton Dilan. Kemudian rekan saya bilang, “ya, wajar aja dia tahu Dilan, orang di TV setiap saat iklan Dilan semua!” Ya, mungkin saja siswa saya itu mengenal Dilan dari TV. Bukan hanya di TV, bahkan di mini market, produk-produk yang dijual mengubah kemasannya dengan foto Dilan.

Beruntunglah siswa saya itu masih meniru sebatas pakaian Dilan, bukan kelakuan Dilan yang menurut saya sangat tidak pantas untuk dicontoh, bukan hanya bagi anak-anak tapi juga bagi remaja. Saya melihat Dilan sebagai remaja yang gemar berkelahi antar geng motor dan tawuran antar sekolah. Selain itu, bagi saya film dan buku Dilan menjadi referensi remaja kita dalam hal pacaran. Dua hal tersebut cukup membahayakan bagi generasi muda. 

Kasus kedua terjadi pada calon siswa saya. Seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku TK. Ketika dia datang ke kelas bersama temannya yang perempuan, mereka berdua mulai bercerita dan saya mendengarkan obrolan mereka. 

“Aku gak mau ah diajar sama guru besar,” kata si anak laki-laki.
“Aku juga. Aku mau diajar sama guru kurus,” timpal temannya yang perempuan.
Rupanya yang dimaksud guru besar adalah guru yang bertubuh gemuk. Lalu saya bertanya kenapa tidak mau diajar oleh guru besar.
“Gak mau, ah. Soalnya guru besar jahat, galak!”
“Masa sih? Emang iya?” tanya saya.
“Iya, Miss. Itu di Upin Ipin aja Cikgu Besar kan galak. Kalau Cikgu kecil baik.” Katanya menjelaskan.

Sekali lagi saya terpana dan hanya bisa menahan tawa sekaligus heran, kok bisa-bisanya anak-anak ini menyimpulkan seperti itu. Saya tahu kisah Upin Ipin dengan Cikgu Besar itu. Di sana memang digambarkan Cikgu Besar berbadan besar dan ditakuti oleh Upin Ipin dan teman-temannya. Cikgu Besar memang digambarkan sebagai guru yang tegas dan tidak ragu menghukum murid-murid yang tidak patuh.

Akhirnya saya berpikir mungkin banyak anak-anak yang menonton Upin Ipin memiliki kesimpulan yang sama dengan siswa saya itu. Mereka berpikir semua guru yang berbadan besar itu galak.

Dari dua kasus di atas saya menyimpulkan betapa sebuah tontonan itu pengaruhnya sangat besar bagi anak-anak. Jadi, sebagai orang yang lebih dewasa, misalnya orang tua, kakek nenek, om dan tante mereka, hendaknya mengawasi, mengontrol, memberi arahan dan memilihkan tontonan yang tepat bagi anak-anak kita. Itu baru Upin Ipin dan Dilan, bagaimana dengan tontonan lain yang isinya lebih parah mungkin, misalnya tokoh wanita yang tidak malu mempertontonkan auratnya, serta tayangan kekerasan lainnya. Saya khawatir anak-anak perempuan kita jadi terinspirasi untuk mengikuti tren pakaian ala artis yang mengumbar aurat tersebut.

Saya tidak mengatakan Upin Ipin berpengaruh buruk bagi anak-anak, hanya saja anak-anak tersebut butuh diberi penjelasan bahwa apa yang mereka lihat di TV tidak semuanya terjadi di dunia nyata. Dan tentunya penjelasan-penjelasan yang menyangkut sikap dan perilaku, kesopanan, tata karma, hingga tata cara pergaulan sesuai dengan ajaran Islam sangat perlu untuk dikenalkan kepada anak-anak kita. Semoga anak-anak Indonesia mendapat lebih banyak tayangan yang bermanfaat, mendidik dan bisa mendekatkan mereka dengan Sang Penciptanya, yaitu Allah SWT.

1 comment:

  1. setuju, kaa. perlu adanya bimbingan orang tua sekalipun tontonannya kartun. kalau keponakan2 aku jadi "korban youtube", ka, yang satu selalu ngomong ashiaaap yang satu selalu ngajakin bikin slime 😂

    ReplyDelete