pixabay |
Kemarin saya dibuat
terpana oleh dua orang anak kecil. Yang satu siswa saya, satu lagi calon siswa.
Kata-kata yang keluar dari mulut mereka membuat saya ingin tertawa sekaligus
miris. Keduanya mengungkapkan pengalaman mereka berkaitan dengan sebuah tontonan.
Siswa saya kelas 2 SD terpengaruh oleh film layar lebar remaja yang sangat
diminati oleh banyak orang, yaitu Dilan. Sedangkan calon siswa saya terpengaruh
oleh film kartun yang disukai hampir semua anak kecil, jangankan anak kecil,
saya pun memfavoritkannya, yakni Upin Ipin.
Seberapa berpengaruhnya
sebuah tontonan terhadap anak-anak?
Pengaruhnya tentu saja
sangat besar. Jika yang ia tonton mengandung sebuah kebaikan, anak tersebut
tidak akan menunggu waktu lama untuk menyalin kebaikan itu ke dalam
kepribadiannya. Sebaliknya, jika sebuah tontonan mengandung sesuatu yang
negatif, anak pun akan dengan mudah menirunya.
Jadi, yang terjadi
dengan kedua siswa saya tersebut adalah sebagai berikut:
Siswa pertama kelas 2
SD datang ke kelas dengan masih menggunakan seragam sekolah putih-merah dan
dibalut sebuah jaket blue jins. Ketika
sedang mengerjakan tugas dan saya hampiri ke mejanya, tiba-tiba dia bertanya, “Miss,
aku mirip Dilan ngga?”
Reaksi muka saya saat
itu menampilkan sebuah mimik terkejut, sedikit menahan tawa dan keheranan, “Dilan?”
kata saya memastikan.
“Iya, miss. Aku mirip
Dilan ngga?” tanyanya sekali lagi, “temen-temen aku bilang, aku mirip Dilan,
karena aku pakai jaket ini. Dilan kan pakai jaket kayak gini, miss.” Lanjutnya.
Saya masih terkejut
dengan kata-katanya, sambil tidak tahan untuk tertawa. “Emang kenapa sih mau
mirip kayak Dilan?” tanyaku.
“Ya, gak papa, miss. Nanti
aku mau bikin geng Dilan di sekolah. Temen-temen yang cowok aku kumpulin, trus
semuanya pakai jaket kayak gini.” Ujarnya sambil menunjuk ke jaket yang ia
pakai.
Tak disangka anak SD
pun terkena demam Dilan. Saya tidak yakin anak itu menonton film Dilan di
bioskop, karena asumsi saya orang tuanya tidak mungkin mengajak anaknya untuk
menonton Dilan. Kemudian rekan saya bilang, “ya, wajar aja dia tahu Dilan,
orang di TV setiap saat iklan Dilan semua!” Ya, mungkin saja siswa saya itu
mengenal Dilan dari TV. Bukan hanya di TV, bahkan di mini market, produk-produk
yang dijual mengubah kemasannya dengan foto Dilan.
Beruntunglah siswa saya
itu masih meniru sebatas pakaian Dilan, bukan kelakuan Dilan yang menurut saya
sangat tidak pantas untuk dicontoh, bukan hanya bagi anak-anak tapi juga bagi
remaja. Saya melihat Dilan sebagai remaja yang gemar berkelahi antar geng motor
dan tawuran antar sekolah. Selain itu, bagi saya film dan buku Dilan menjadi
referensi remaja kita dalam hal pacaran. Dua hal tersebut cukup membahayakan
bagi generasi muda.
Kasus kedua terjadi
pada calon siswa saya. Seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku TK. Ketika
dia datang ke kelas bersama temannya yang perempuan, mereka berdua mulai
bercerita dan saya mendengarkan obrolan mereka.
“Aku gak mau ah diajar
sama guru besar,” kata si anak laki-laki.
“Aku juga. Aku mau
diajar sama guru kurus,” timpal temannya yang perempuan.
Rupanya yang dimaksud
guru besar adalah guru yang bertubuh gemuk. Lalu saya bertanya kenapa tidak mau
diajar oleh guru besar.
“Gak mau, ah. Soalnya guru
besar jahat, galak!”
“Masa sih? Emang iya?”
tanya saya.
“Iya, Miss. Itu di Upin
Ipin aja Cikgu Besar kan galak. Kalau Cikgu kecil baik.” Katanya menjelaskan.
Sekali lagi saya
terpana dan hanya bisa menahan tawa sekaligus heran, kok bisa-bisanya anak-anak
ini menyimpulkan seperti itu. Saya tahu kisah Upin Ipin dengan Cikgu Besar itu.
Di sana memang digambarkan Cikgu Besar berbadan besar dan ditakuti oleh Upin
Ipin dan teman-temannya. Cikgu Besar memang digambarkan sebagai guru yang tegas
dan tidak ragu menghukum murid-murid yang tidak patuh.
Akhirnya saya berpikir
mungkin banyak anak-anak yang menonton Upin Ipin memiliki kesimpulan yang sama
dengan siswa saya itu. Mereka berpikir semua guru yang berbadan besar itu
galak.
Dari dua kasus di atas
saya menyimpulkan betapa sebuah tontonan itu pengaruhnya sangat besar bagi
anak-anak. Jadi, sebagai orang yang lebih dewasa, misalnya orang tua, kakek
nenek, om dan tante mereka, hendaknya mengawasi, mengontrol, memberi arahan dan
memilihkan tontonan yang tepat bagi anak-anak kita. Itu baru Upin Ipin dan
Dilan, bagaimana dengan tontonan lain yang isinya lebih parah mungkin, misalnya
tokoh wanita yang tidak malu mempertontonkan auratnya, serta tayangan kekerasan
lainnya. Saya khawatir anak-anak perempuan kita jadi terinspirasi untuk
mengikuti tren pakaian ala artis yang mengumbar aurat tersebut.
Saya tidak mengatakan
Upin Ipin berpengaruh buruk bagi anak-anak, hanya saja anak-anak tersebut butuh
diberi penjelasan bahwa apa yang mereka lihat di TV tidak semuanya terjadi di
dunia nyata. Dan tentunya penjelasan-penjelasan yang menyangkut sikap dan
perilaku, kesopanan, tata karma, hingga tata cara pergaulan sesuai dengan
ajaran Islam sangat perlu untuk dikenalkan kepada anak-anak kita. Semoga
anak-anak Indonesia mendapat lebih banyak tayangan yang bermanfaat, mendidik
dan bisa mendekatkan mereka dengan Sang Penciptanya, yaitu Allah SWT.
setuju, kaa. perlu adanya bimbingan orang tua sekalipun tontonannya kartun. kalau keponakan2 aku jadi "korban youtube", ka, yang satu selalu ngomong ashiaaap yang satu selalu ngajakin bikin slime 😂
ReplyDelete