Judul :
Purple Eyes
Penulis :
Prisca Primasari
Penerbit :
Inari, Mei 2016
Tebal :
142 halaman
Membaca awal bab buku ini saya langsung teringat oleh
film yang tayang di stasiun TV swasta, yang tidak sengaja saya tonton. Judul
filmnya yang saya ingat adalah Percy Jackson. Diceritakan bahwa Percy Jackson
datang mengunjungi Neraka padahal dia masih hidup. Misinya pergi ke Neraka
adalah untuk menyelamatkan ibunya yang ditawan oleh Dewa Penghuni Neraka.
Berbeda
dengan Percy Jackson, buku ini justru menceritakan Dewa Kematian yang turun ke
dunia dalam rangka mencabut nyawa seorang pembunuh berantai. Hades, si Dewa
Kematian menjalankan misinya ke bumi bersama seorang asistennya yang bernama
Lyre. Lyre adalah seorang gadis Inggris berusia 24 tahun yang meninggal pada
tahun 1895.
Hades
dan Lyre menyamar sebagai manusia dan mengganti nama mereka. Lyre memberikan
usul untuk nama pengganti Hades yaitu Halstein, sedangkan Lyre sendiri
mengganti namanya menjadi Solveig. Mereka mendatangi sebuah rumah di Norwegia,
rumah salah seorang korban pembunuhan berantai.
Di
rumah tersebut hanya tinggal seorang pemuda yang adiknya baru saja meninggal
akibat pembunuhan berantai yang sadis. Si pembunuh mengincar orang-orang yang
berjalan sendirian di malam hari dan mulai menghabisinya. Untuk memuaskan hobinya
membunuh orang, ia juga mengoleksi lever korban-korbannya.
Halstein
dan Solveig berhasil meyakinkan Ivarr- kakak dari Nikolai, korban
pembunuhan- bahwa mereka datang dari Inggris untuk memesan seribu buah boneka
troll yang akan mereka gunakan sebagai souvenir dalam pagelaran teater A Doll’s
House di London dua bulan lagi. Ivarr pun menyanggupi pesanan mereka dan akan
segera memproduksinya. Selama waktu itu pula Halstein dan Solveig akan stay
di Norwegia.
Walaupun
pembunuhannya terkesan sadis, ini bukan novel misteri ala detektif, juga bukan
novel yang menceritakan tentang pembunuhan yang berdarah-darah. Saya
kategorikan novel ini sebagai novel misteri romantis. Selain kisah misteri
pembunuhan berantai, kisah romantis dimunculkan antara Solveig dan Ivarr.
Selama misinya di dunia, Halstein memerintahkan Solveig untuk mendekati Ivarr
demi membangkitkan rasa dendam Ivarr kepada pembunuh adiknya.
Solveig
terpaksa melakukannya padahal ia tidak menyukai sikap Ivarr yang dingin dan
kaku. Tapi demi memenuhi perintah sang Dewa Kematian, Solveig pun menuruti.
Seiring berjalan waktu serta hubungan Solveig dan Ivarr yang semakin mencair,
mereka merasakan perasaan yang berbeda. Ivarr mulai merasa nyaman dengan
kehadiran Solveig, pun sebaliknnya.
Selama
interaksi keduanya, Ivarr merasa ada yang aneh dari Solveig. Sesuatu yang aneh
yang tidak mungkin ia temui pada orang yang hidup di zaman ini. Yang paling
membuat Ivarr terkejut adalah ketika ia mengetahui bahwa Solveig tidak pernah
tahu kisah terkenal dari negaranya, Inggris, tentang seorang anak penyihir yang
ada tanda sambaran petir di dahinya, Harry Potter, bahkan seluruh dunia tahu
Harry Potter.
Tentu
saja Solveig tidak tahu tentang Harry Potter, karena ia sudah meninggal di abad
19. Tapi tentu saja Ivarr tidak mengetahui hal itu. Karena, baik Solveig maupun
Halstein tidak pernah memberitahu dari mana asal mereka sesungguhnya.
Solveig
sangat menyukai mata Ivarr yang berwarna biru keunguan. Sampai sampai ia
menulis puisi dengan judul Purple Eyes. Suatu hari tak sengaja Ivarr menemukan
puisi itu dalam buku catatan Solveig, ia pun tersenyum membca puisi yang ia
yakin ditujukan untuknya. Dari buku itu pula akhirnya misi Halstein dan Solveig
terungkap. Hingga pada akhirnnya Ivarr tahu kalau Solveig tidak berasal dari
dunianya.
Sebelumnya
saya pernah membaca beberapa novel karya Prisca Primasari, tapi itu dulu sudah
lama sekali. Dan hingga sekarang saya belum pernah membaca novel karyanya lagi.
Meskipun saya tidak membaca karya Prisca, saya cukup mengikuti update
novel-novel karyanya. Dan saya kagum padanya yang terus menelurkan karya-karya
baru.
Dari
novel-novelnnya yang saya baca, ada ciri khas dari seorang Prisca, yakni
novelnya selalu bersetting di luar negeri. Dan Prisca sangat piawai menuliskan
setting luar negeri meskipun ia belum pernah mengunjungi negeri yang menjadi
setting lokasi dalam novelnnya. Prisca menggambarkan lokasi dalam novelnya
dengan detil dan apik, seolah pembaca dapat merasakan suasana yang digambarkan.
Tidak
hanya suasana kota yang digambarkan, tapi juga detil atau ciri khas dari negara
atau kota tersebut. Seperti novel ini yang bersetting di Trondheim, Norwegia,
Prisca mengenalkan sungai Nidelven, teh rasa lavendel, tanaman mistletoe, dsb. Saya
seolah membaca novel terjemahan yang ditulis oleh penulis luar negeri, karena
memang selain lokasi, nama tokoh dan istilah-istilah yang digunakan terasa
asing. Saya rasa hal itu menjadi nilai jual dari sebuah karya tulis yang
membutuhkan keunikan sendiri untuk menarik pembaca.
Akhirnya
sebagai penutup, saya akan menyampaikan sedikit kutipan yang saya tangkap dari
kisah ini,
"Membenci itu melelahkan, bahkan lebih menguras emosi daripada merasa sedih" (hlm. 117)
No comments:
Post a Comment