Judul :
Wak Ali & Manusia Lumpur
Penulis :
Taufan E. Prast, Zaenal Radar T, Andi Tenri Dala F, dkk
Diterbitkan
oleh : FLP Jakarta, 2016
Tebal :
181 halaman
Sejak
resmi jadi anggota FLP Jakarta, akhirnya saya bisa memiliki karya tulis bersama anggota
FLP Jakarta lintas generasi alias dari berbagai angkatan.
Yup,
Alhamdulillah buku itu hadir dengan judul Wak Ali & Manusia Lumpur. Jadi, ide pertama kali datang dari seorang senior untuk membuat sebuah buku kumpulan
cerpen. Sejak tercetus ide itu, kami mulai mencari satu tema yang akan diangkat
dalam kumcer ini. ada yang mengusulkan tema cinta, jodoh, parenting, orangtua,
dll. Setelah melewati tahap perenungan, hehe, terpilihlah tema tentang
lingkungan.
Pertama
kali mendengar tentang temanya, nyali saya langsung ciut. Pasalnya, dalam
pikiran saya tema lingkungan itu sesuatu yang berat yang butuh riset dan data.
Beruntung kami memiliki pembimbing yang cukup memotivasi dan menyemangati kami.
Mas Sokat Rachman sebagai pembimbing mengatakan bahwa tema lingkungan tidak
selamanya tentang sesuatu yang berat. Kita bisa mencari ide dari kehidupan
sehari-hari saja, karena kehidupan kita tidak lepas dari keadaan di sekitar
lingkungan kita. Jangan terlalu berpikir
yang berat, sejatinya ide sederhana pun bisa jadi sebuah cerita yang menarik.
Setelah
mendengar penjelasan pembimbing, saya pun mulai berpikir ide apa yang akan saya
angkat untuk cerpen tema lingkungan ini. Akhirnya saya memutuskan untuk
mengambil ide dari pengalaman pribadi. Hanya saja, saya mengubah tokohnya
menjadi laki-laki. Maka lahirlah cerpen “Lelaki Aneh Di Angkot”. Lalu apa
hubungannya lelaki aneh dengan lingkungan? Silakan baca cerpennya 😆
Para penulis cerpen dalam buku Wak Ali & Manusia Lumpur pada saat launching di acara Studium Generale Pramuda 20 FLP Jakarta 2016 |
Judul
bukunya sendiri diambil dari dua cerpen, Cerpen pertama “Wak Ali” yang ditulis oleh Agus Dwi Putra, menceritakan
tentang sosok Wak Ali yang begitu memperhatikan hewan-hewan yang berada di
sekitar surau agar tetap merasa nyaman hinggap di mana pun di sekitar surau.
Hingga suatu hari terdapat burung-burung yang bersarang di atas kotak surat
yang berdiri di depan surau. Burung-burung tersebut tidak beranjak untuk
beberapa hari. Wak Ali pun tidak tega mengusir burung-burung itu. padahal ada
sebuah surat penting yang ada di dalam kotak surat itu. Sesuatu yang sangat diimpikannya
selama ini.
Kedua,
cerpen “Manusia Lumpur” yang ditulis oleh Billy Antoro. Cerpen ini ditulis
dalam rangka memperingati satu dasawarsa bencana nasional banjir lumpur panas
di Sidoarjo, Jawa timur. Diceritakan kehidupan manusia lumpur yang hidup jauh
di bawah tanah mulai terusik sejak pertambangan bumi yang begitu rakusnya,
hingga tidak memedulikan pengaruh buruk yang ditimbulkan. Tak disangka manusia
lumpur akhirnya keluar dari perut bumi untuk meminta pertanggungjawaban dari
manusia di permukaan atas bencana ini. Kehadiran manusia lumpur membuat warga
sekitar genangan lumpur panik dan ketakutan. Manusia lumpur dan warga korban
banjir lumpur mencoba membuat kesepakatan demi terciptanya ketenangan hidup
mereka bersama.
Membaca
cerpen-cerpen dalam buku ini akan membuat kita lebih peka terhadap lingkungan.
Manusia sebagai penghuni utama bumi sudah seharusnya menjaga dan melestarikan
lingkungan tempat kita tinggal. Semakin banyak orang yang peduli dan mencintai
lingkungan, niscaya kerusakan-kerusakan lingkungan akan mudah dihindari. Lalu
hal-hal apa sajakah yang dapat kita lakukan untuk menjaga lingkungan tetap aman
dan nyaman dihuni?
Membuang
sampah pada tempatnya, menanam pohon, berlaku baik pada hewan, mendaur ulang
sampah, dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat kita lakukan untuk kelestarian
alam. Namun, terkadang kita lupa, lebih tepatnya kurang peduli pada hal-hal
tersebut. Kita masih saja dengan tanpa berdosa buang sampah sembarangan bahkan perilaku
buruk itu menurun ke anak cucu kita. Banyak pohon ditebang demi berdirinya
sebuah bangunan yang dianggap membawa lebih banyak keuntungan. Kita juga kadang
lupa bahwa binatang berhak memiliki habitat yang nyaman tanpa gangguan manusia.
Sesungguhnya
tidak perlu sekolah tinggi untuk bisa menjaga dan melestarikan lingkungan.
Hanya dibutuhkan hati yang peka dan rasa memiliki, layaknya benda kesayang yang
kita punya tentunya akan kita jaga dengan sebaik mungkin dan tak rela jika ada
orang yang merusaknya.
Ada
kutipan menarik dari cerpen “Di Bawah Pohon Kenari” karya Taufan E. Prast,
“Dunia ini berisi banyak kepala, baik yang ada isinya, hanya setengah atau kosong
tak berisi.”
Maka
marilah kita isi kepala ini dengan sesuatu yang positif hingga dapat
mengeluarkan tindak tanduk yang positif pula, khususnya pada lingkungan
sekitar.
No comments:
Post a Comment