Judul : Selestia dan Penjara
Teka-Teki
Penulis : Yozar Firdaus Amrullah
Penerbit :
Buah Hati, 2016
Berawal
dari gagalnya Selestia pergi liburan ke Sigapura karena kesibukan kedua
orangtuanya yang tidak bisa ditinggalkan, Selestia malah dikirim untuk berlibur
ke desa, di mana tante dan sepupunya tinggal. Dimulailah petualangan Selestia
bersama sepupuya, Raka dan tiga orag temannya, Herman, Mutu dan Nori.
Di
sebuah desa bernama Desa Gebang, Selestia siswi kelas VIII SMP menghabiskan
masa liburan sekolahnya. Petualangan Selestia
dan teman-temannya bermula dari rasa penasaran mereka dengan seorang
nenek yang membuat jajanan tradisional paling enak sedunia yang dijajakan
keliling oleh Pak Sarlito.
“Bapak
ini Pak Lik Sarlito, Seles. Penjual keliling jajanan paling enak di desa ini,
eh koreksi, jajanan paling enak sedunia yang dijual di desa ini, ding.”
(hlm.50)
Selestia,
Raka, Herman, Nori dan Mutun memutuskan untuk mengunjungi pondok nenek Gayatri,
si pembuat kue, demi melihat langsung pembuatan kue dan bisa memakan kue yang
fresh from the oven. Tapi sayang sekali, setibanya di pondok nenek
Gayatri, mereka tidak menemukan si nenek di sana.
Tercium
bau harum kue-kue yang sudah matang dari dalam pondok, Selestia dan
teman-temannya memutuskan untuk masuk. Carabikang, lupis, serabi, jenang
candil, onde-onde, dan masih banyak lagi kue lainnya, seolah menghipnotis
anak-anak itu, kemudian mereka pun larut oleh kelezatan jajanan terenak buatan
nenek Gayatri.
Tak
berhasil bertemu nenek Gayatri di pondoknya, mereka malah menemukan sebuah
ruang rahasia di bawah tanah yang disebut Tanah Harapan. Terlanjur masuk ke
dalam ruang rahasia tersebut, Selestia dan teman-temannya tidak bisa lagi
keluar dari Tanah Harapan sebelum menyelesaikan permainan teka-teki yang
diberikan oleh Ningrat Biru, penghuni Tanah Harapan.
Akankah
mereka berhasil memecahkan teka-teki dan keluar dari Penjara Teka-teki?
Novel
petualangan remaja ini terbilang unik. Ada dua keunikan dalam novel ini.
Pertama pengarang menampilkan kisah petualangan dengan misteri teka-teki yang
harus dipecahkan. Beberapa teka-teki cukup membuat pembaca berpikir lama untuk
menemukan jawabannya. Namun ada juga teka-teki yang mudah ditebak. Ada
satu tokoh dalam dunia Ningrat Biru yang bernama Penyair Sahar. Ia memberikan
teka-tekinya melalui syair-syair.
Saat api agung menyinari dunia, hadirku pudar karena
pesonanya
Aku pun bersembunyi di kalbu, untuk sekadar menunggu
Kuhanya bisa nantikan kegelapan datang menutupi
Sehingga aku bisa terbang dari peraduan menebarkan
cahaya
Namun sebanyak apa pun sepertiku, takkan mampu gantikan
api agung terangi dunia
(hlm.142)
Kedua,
jarang sekali saya membaca novel (remaja) yang mengangkat unsur tradisional di
dalamnya. Pengarang memunculkan jajanan tradisional sebagai ide besar di novel
ini. Seperti yang kita ketahui saat ini bacaan remaja masih banyak didominasi
oleh kisah percintaan.
Segmen
remaja yang ditargetkan oleh pengarang menurut saya tepat. Dengan
memperkenalkan jenis-jenis jajanan tradisional, remaja saat ini dibangkitkan
lagi rasa nasionalismenya. Mungkin saja masih banyak remaja saat ini yang belum
mengenal kue-kue, seperti; carabikang, lupis, nagasari, semar mendem, gemblong,
dll. Mereka
lebih mengenal jajanan modern yang datang dari luar; burger, waffle,
cheese cake, donat, berbagai jenis roti, dll. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa
mungkin jajanan tradisional itu saat ini sulit ditemukan, karena jarang dijual di
pusat keramaian.
Nilai
kearifan lokal tak luput dari pengamatan saya. Pengarang menyelipkan nilai
kearifan lokal pada salah satu babnya, di mana kehidupan di desa masih kental
nuansa kebersamaannya. Masyarakat desa pada umumnya saling mengenal satu sama
lain, sapaan hangat masih bisa ditemukan di sana. Hal ini sangat cocok
dikenalkan kepada remaja-remaja yang hidup di perkotaan.
Saya
pun jadi tahu salah satu kebiasaan penduduk desa yang terbiasa meletakkan kendi
berisi air segar di depan rumahnya. Hal itu bertujuan, agar jika ada seorang
musafir atau warga yang sedang melakukan perjalanan jauh, mereka dapat meminum
air dari kendi itu untuk menghilangkan rasa haus mereka. Nilai-nilai seperti
ini sangat baik disampaikan kepada remaja, agar menumbuhkan rasa kepedulian.
Sedikit
koreksi yang bisa saya sampaikan untuk novel Selestia dan Penjara Teka-teki
ini, terutama pada bagian EYD, saya menemukan pemakaian tanda baca yang kurang
tepat.
“Ah,
iya. Kenapa saya nggak kepikiran. Non emang pinter!,” ujar mbak Ratri dengan
kagum. (hlm.6)
Menurut
hemat saya, setelah tanda seru (!) tidak perlu lagi menggunakan koma (,). Lalu
terdapat ketidakseragaman pada kata “Mbak Ratri”. Pada halaman 6, kata “mbak” ditulis
menggunakan huruf kecil. Sedangkan pada halaman 7, penulisan kata “Mbak”
menggunakan huruf kapital.
Tak
butuh waktu lama untuk menyelesaikan novel ini. Berjumlah 250 halaman dengan
ilustrasi menarik di setiap babnya. Dicetak dengan font yang cukup nyaman
ditangkap oleh mata serta kualitas kertas yang baik, novel ini layak menjadi
salah satu bacaan bagi remaja.