Judul : Buya HAMKA Memoar
Perjalanan Hidup Sang Ulama
Penulis : Yanuardi Syukur dan
Arlen Ara Guci
Penerbit : Tinta Medina
Cetakan : 1, 2017
Tebal : 208 halaman
Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan HAMKA merupakan
seorang ulama besar yang pernah dimiliki Indonesia. Ia adalah aktivis
Muhammadiyah yang bervisi kebinekaan untuk keutuhan bangsa Indonesia. Kehidupan
keluarga HAMKA rupanya tidak semenyenangkan yang saya kira. Ia harus
menyaksikan perceraian orang tuanya saat masih kecil. HAMKA kecil juga dikenal
sebagai anak nakal yang sering terlibat perkelahian antar siswa sekolah.
Buku
biografi “BUYA HAMKA: Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama” ini ditulis oleh
kolaborasi antara Yanuardi Syukur dan Arlen Ara Guci dengan membaginya menjadi
tiga fase; fase pra penjara, fase penjara dan fase pasca penjara.
Fase
pra penjara secara garis besar menceritakan masa kecil HAMKA, aktivitas
organisasi, kegiatan menulis dan hubungannya dengan pemerintahan Soekarno pada
masa itu. Selain masa kecil yang sedikit disinggung di awal tulisan ini, saya
sangat tertarik dengan kegiatan atau aktivitas menulis HAMKA. Setelah membaca
aktivitas menulis dan membacanya, saya menemukan kesamaan dengan beliau seperti
yang dikatakan Buya Zas, teman HAMKA.
“HAMKA
bisa membaca selama dua tiga jam dan mencatat di kertas apa pun yang dekat
dengannya- seperti bungkus rokok- lalu mengantongi catatan tersebut.” (hlm. 39)
Bedanya
adalah saya tidak pernah mencatat di bungkus rokok, tapi saya sengaja
menyiapkan selembar kertas khusus untuk mencatat apa pun dari buku yang dibaca 😀
Sejak
muda, HAMKA sudah aktif menulis. Tulisannya rutin muncul di surat kabar dan
majalah. Ia juga pernah menjadi wartawan dan editor di majalah Pedoman Mayarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. Dalam hal membaca, HAMKA
merupakan pembaca segala jenis karya mulai dari tasawuf, sejarah, filsafat dan
moralitas. Pengaruh dari bacaan-bacaan tersebut cukup signifikan bagi
perkembangan wawasan dan kemampuan menulisnya.
Beberapa
karya fenomenal telah berhasil ia terbitkan, di antaranya; Di Bawah Lindungan
Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, Tasawuf Modern
hingga Tafsir Al-Azhar yang berhasil ditulisnya selama di dalam penjara. Masih
banyak lagi karya tulis HAMKA yang ternyata jumlahnya mencapai 118 karya.
Fase
kedua, yaitu penjara. Kisah dipenjarakannya HAMKA cukup menyedihkan. Pasalnya
ia dijebloskan ke penjara oleh sahabatnya sendiri, Soekarno. Alasan tidak masuk
akal pun dibuat untuk meloloskan niat memenjarakan HAMKA. Ia dituduh ingin
membunuh Soekarno dan berkhianat bersekongkol dengan Malaysia. Meskipun tuduhan
itu tidak terbukti, HAMKA tetap menjalani kurungan selama dua tahun.
Membaca
fase penjara ini, saya jadi teringat dengan peristiwa yang berkaitan dengan
ulama yang ditangkap yang terjadi saat ini. Rupanya kasus HAMKA masih relevan
dengan zaman sekarang, di mana para ulama dituduh, ditangkap dan dipenjara
dengan alasan menyebarkan kebencian atau kasus lainnya.
Saya
menilai, tidak semua orang dipenjara itu bersalah. Mereka justru dipaksa
mengaku bersalah atas apa yang tidak dilakukan. Seperti kasus HAMKA dan
ulama-ulama saat ini. Meskipun di dalam penjara HAMKA tetap mampu
menghasilkan karya. Salah satunya buku Tafsir
Al-Azhar yang ditulisnya selama di penjara.
Fase
terakhir, yaitu pasca penjara. Keluar dari penjara HAMKA tetap menjalani
aktivitasnya seperti dulu; ceramah, menulis, mengajar dan mengurus organisasi. HAMKA
dilantik menjadi ketua umum MUI pada 27 Juli 1975. Selama memimpin MUI, HAMKA
melakukan kebijakan intern maupun ekstern. Ia juga merumuskan fatwa-fatwa
terkait urusan agama Islam. Salah satu fatwa yang membuat resah pemerintah
adalah diharamkannya umat Islam untuk turut merayakan Natal bersama. Bahkan
mentri agama saat itu mendesak HAMKA untuk mencabut fatwa tersebut.
HAMKA
tidak rela merusak aqidahnya dengan mencabut larangan tersebut. Daripada ia
harus mencabut fatwa larangan merayakan Natal bagi umat Islam, ia justru
memilih mundur dari jabatan ketua MUI.
Keteladanan
yang dapat diambil dari sosok ulama besar ini adalah sifatnya yang tidak
mendendam dan ringan hati. Ia tidak mendendam pada Soekarno yang telah
memenjarakannya, justru tetap menganggap Soekarno sebagai sahabatnya. Begitu pun
dengan Pramudya Ananta Toer dan M. Yamin yang memusuhinya karena perbedaan
pemikiran. HAMKA memaafkan mereka tanpa rasa dendam sedikit pun.
HAMKA
bukan hanya ulama yang berpengaruh di masanya, hingga sekarang pun ia menjadi panutan
dan inspirasi bagi umat Islam. Banyak mutiara hikmah yang telah ditorehkannya
ke dalam karya tulis yang masih dicetak dan ditulis kembali oleh
penulis-penulis Indonesia pada masa sekarang. Membaca biografi Buya HAMKA
seperti meraup ilmu langsung dari sumbernya. Penulis buku ini berhasil
menuliskan sebuah memoar yang ringan namun sarat makna.