doc. pribadi |
“Maaf,
mengganggu sebentar.” Suara bariton seorang petugas security di salah satu gerbong kereta api tiba-tiba menghampiri
kami. Shani temanku yang mengisi waktu selama perjalanan dengan membaca
Al-qur’an menoleh ke arah bapak security.
“Ya,
ada apa Pak?”
“Klo
boleh tau mbak ini alirannya apa ya?”
Mendengar
pertanyaannya aku terkejut dan menatap bapak security dengan serius. Sebelum Shani menjawab, aku sudah lebih
dulu menyambut pertanyaan bapak petugas yang berdiri tegap dengan angkuhnya.
“Emangnya
kenapa pak nanya-nanya aliran?” Seruku balik bertanya.
“Maaf
mba, saya hanya menjalankan tugas. Atasan saya memerintahkan untuk memastikan
setiap gerbong ini aman.” Jawab security
dengan tatapan yang tajam.
Sepertinya
aku paham apa yang dimaksud bapak ini. Dia mencurigai kami karena memakai
jilbab yang cukup lebar berbeda dari penumpang lain yang berhijab ala kadarnya,
ditambah lagi Shani kepergok sedang membaca Al-qur’an. mungkin itu sebabnya dia
menghampiri kami. Penumpang mulai terusik seolah bertanya-tanya apa yang sedang
terjadi.
“Owh,
begitu. Jadi menurut bapak keberadaan kami di sini membuat kereta api ini jadi
tidak aman. Begiru maksud bapak?” Nada suaraku terdengar mulai kesal.
“Sudah.
Silakan jawab saja pertanyaan saya tadi.”
“Baiklah.
Bapak ingin tau apa aliran kami? Aliran kami adalah Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW belasan abad yang lalu.” Jelasku dengan bangga. “Nah, kalo bapak
sendiri alirannya apa Pak?” Lanjutku.
Tapi
sepertinya bapak security yang sombong itu tidak puas dengan jawabanku.
“Maksud
saya, Islam aliran apa?”
“Begini
pak ya. Saya jelaskan ke bapak. Mungkin saja bapak belum paham.” Kulihat dia
mulai gusar menghadapiku, “Islam itu ya Islam Pak, yang berdasarkan Al-qur’an
dan sunnah. Islam gak ada aliran-alirannya. Kalau bapak menganggap Islam itu
memiliki berbagai macam aliran, dengan hormat saya katakan Bapak salah.”
“Kamu
gak usah ceramah di sini.” Kulihat wajah Bapak security mulai memerah dan nadanya mulai meninggi. Ngeri juga aku
dibuatnya. Dzikir terus kulantunkan dalam hati.
“Saya
gak ceramah pak. Cuma sekedar memberikan info saja pada bapak.” Tukasku dengan
nada sedikit lebih rileks, “O ya, bapak belum jawab pertanyaan saya. Aliran
bapak apa?”
Si
Bapak security semakin merah saja
wajahnya. Akhirnya beliau pergi meninggalkan kami dengan hati dongkol
menghadapi argument bocah tengik
sepertiku.
Aku
dan Shani bertatapan satu sama lain sambil tertawa cekikikan. Kulihat para
penumpang pun ikut tersenyum melihat aksiku tadi.
“Ya
ampun Rani, kamu berani banget sih tadi? Nanti kalau si bapak itu melaporkan
kita bagaimana?” Seru Shani sedikit khawatir sambil menepuk bahuku.
“Tenang
Shan, ada Allah. Lagian siapa suruh curiga kayak gitu? Emangnya kita teroris
apa? Awas aja kalo berani macem-macem.” Tegasku sambil mengepalkan tangan.
baguuus...!
ReplyDeleteeh, itu kisah nyata Nia?
Terinspirasi oleh status yg dishare tmn di fb. Entah bener pa ga. Tiba2 ide untuk nulis ini keluar, hehe
ReplyDeleteHappy writing ^^