Thursday, 1 May 2014

Fenomena TransJakarta vs Angkot



 

 Dulu saya pernah menulis tentang seorang teman yang suka sekali naik TJ alias TransJakarta. Kemanapun dia pergi hampir dipastikan dia akan menggunakan TJ, begitupun ketika bepergian dengan saya. Nah, masalahnya saya sama sekali tidak suka naik TJ. Kenapa? Setelah beberapa kali naik TJ,
saya menyimpulkan naik TJ itu sangat tidak enak, nunggu busnya lama, begitu busnya datang penumpang penuh berdesakan, haltenya tidak nyaman apalagi ketika penunmpang sudah mulai banyak, halte jadi penuh sesak dan panas, selain itu ada beberapa halte busway yang jaraknya sangat jauh dengan halte yang berikutnya sehingga memaksa kita untuk jalan menelusuri jembatan yang begitu paaaannjaaaaannggg dan laaaaammaaaa, hehe. Benar-benar tidak nyaman dan saya sangat tidak menyukainya, namun saya tidak mengerti kenapa teman saya itu suka sekali naik TJ dan anehnya lagi saya selalu mengalah dan mengikuti saja maunya untuk naik TJ.

Itu dulu ya sodara-sodara, nah sekarang semuanya berbeda, kenapa? Karena sekarang saya jadi semakin sering naik TJ. Bukan karena sekarang TJ sudah semakin baik atau nyaman tidak bukan itu, saya rasa sekarang masih sama saja seperti yang dulu, malah banyak bus-bus yang sudah rusak yang tidak layak untuk beroperasi. Pasalnya sering saya perhatikan bagian-bagian bus yang rusak seperti pintu macet jadi agak susah untuk menutupnya, lalu tidak jarang ada kursi-kursi yang rusak tidak bisa digunakan untuk duduk, ada juga beberapa bus yang AC-nya sudah tidak dingin, jadi naik TJ sama saja dengan naik bus kota atau metro mini panas, dan juga halte busway yang kurang perawatan. Seingat saya dulu waktu TJ pertama kali muncul, semua terlihat begitu bagus, rapi dan nyaman, tapi seiring berjalannya waktu hal-hal yang indah itu tidak saya temukan lagi di TJ sekarang ini, meskipun mungkin ada beberapa armada bus yang baru tapi jumlahnya yang sedikit sehingga tetap saja bus-bus yang sudah rusak masih digunakan. Namun karena memang tempat yang saya tuju kebanyakan lebih mudah diakses dengan TJ terpaksa saya menaikinya.

Saya tidak setiap hari naik TJ, hanya hari Sabtu atau Minggu saja. Saya pikir mungkin karena weekend makanya TJ tidak terlalu penuh dan bisa lebih nyaman dari pada hari kerja. Tapi pernah juga suatu hari di hari Minggu TJ tetap penuh sesak, namun hal itu jarang terjadi. Sebelumnya saya tidak paham rute mana yang harus saya ambil, transit atau turun di halte mana. Oleh karena itu saya selalu bertanya kepada petugas mengenai tempat yang akan saya tuju. Misalnya saya akan pergi ke Pulogadung, saya akan bertanya dengan detil rute yang harus dilalui. Tapi walaupun sudah beberapa kali ke Pulogadung menggunakan TJ, tetap saja saya masih bertanya kepada petugas karena saya tidak mengingat rutenya, hehe..

Selain ke Pulogadung, saya juga sering naik TJ ke daerah Pramuka. Pulang dari Pramuka biasanya saya nebeng bonceng motor dengan teman sampai Matraman, baru dari Matraman saya sambung perjalanan dengan TJ kearah PGC, lalu dilanjutkan dengan naik metro mini sampai ke rumah di daerah Condet. Suatu hari saya baru ingat bahwa dari Matraman saya bisa naik mikrolet menuju Kp.Melayu kemudian lanjut metro mini kearah Condet. Dalam hati saya pikir buat apa naik TJ, kan bisa naik mikrolet, lebih mudah lagi aksesnya, kenapa tidak kepikirkan dari dulu ya….

Akhirnya suatu hari setelah selesai kegiatan di Pramuka, seperti biasa saya nebeng motor teman sampai Matraman. Saat itu saya memutuskan untuk tidak naik TJ melainkan naik mikrolet ke Kp.Melayu. Tiba di Kp.Melayu, metro mini yang kearah Condet belum datang dan saya harus menunggu cukup lama. Saya perhatikan memang akhir-akhir ini transportasi yang satu ini sudah mulai jarang, Karena saya selalu menunggu cukup lama sampai dia datang. Setelah menunggu sekitar 10 sampai 15 menit, akhirnya metro mini jurusan Condet datang juga. Saya langsung naik dan duduk dibangku depan, penumpang masih sepi malam hari itu, jadi metro mini tidak langsung berangkat.

Untuk menunggu penumpang sampai penuh memerlukan waktu yang cukup lama, kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pengamen atau anak-anak jalanan untuk mengais recehan dari para penumpang didalam metro mini. Pada malam itu ada satu anak jalanan yang naik ke metro mini yang saya naiki. Dilihat dari perawakannya, saya menafsirkan anak ini masih berusia belasan tahun, kira-kira sepantaran anak-anak SMP lah. Dia bukan pengamen karena waktu itu dia membawa alat music apalagi bernyanyi, dia hanya mengoceh tidak jelas tentang masalah saling memberi antar manusia, tampangnya yang semerawut, cara bicara yang tidak jelas dan cenderung seperti orang yang mabuk, membuat saya bergidik. Saya tidak suka memberikan uang kepada pengamen-pengamen jalanan yang asal-asalan, apalagi ini yang mengoceh tidak jelas.

Setelah selesai dia bekicau dengan kicauan yang tidak merdu sama sekali, mulailah anak itu meminta uang kepada penumpang satu-persatu. Dimulai dari kursi yang berada didepan disamping tempat duduk supir. Disana duduk seorang ibu dengan membawa anak, saya perhatikan sebenarnya ibu itu tidak mau memberi uang, tapi si anak jalanan itu agak memaksa si Ibu sampai akhirnya Ibu itu memberi dia sebuah koin Rp.500. Sampailah dia ditempat duduk saya, seperti biasa saya akan memberikan lima jari saya dan berkata “maaf”. Biasanya pengamen yang sudah diberi lima jari dan kata “maaf” dia akan langsung pergi menuju penumpang yang lain. Tapi yang satu ini beda, anak ini terus meminta dengan memaksa, dan saya pun tetap pada pendirian saya. Anak itu agak lama membujuk saya untuk memberinya uang membuat saya merasa kesal. Tapi saya tetap cuek dan tidak memberinya uang, sampai akhirnya dia pergi juga dari hadapan saya. Sebenarnya saya agak takut juga berhadapan anak jalanan itu, karena penampilannya yang seperti preman dan gayanya yang seperti orang mabuk. Alhamdulillah hari itu tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Akhirnya metro mini pun berangkat meninggalkan terminal Kp.Melayu. Sepanjang perjalanan saya mulai membandingkan perjalanan pulang dengan TJ dan angkot lain. Ternyata saya merasa lebih baik naik TJ dari pada angkot. TJ lebih aman karena tidak ada pengamen maupun pengemis yang naik kedalam TJ, sehingga penumpang pun lebih nyaman dan tidak terganggu oleh kehadiran mereka. Sedangkan kalau naik angkot seperti bus kota, mikrolet dan metro mini, pasti banyak pengamen yang datang silih berganti, pengemis yang agak memaksa dan anak-anak jalanan yang berpenampilan aneh dan menakutkan. Mulai saat itu saya memutuskan untuk tetap naik TJ.

Memang segala sesuatu itu ada positif dan negatifnya. begitupun dengan transportasi umum yang ada di Negara kita ini. Transjakarta misalnya mempunyai kelebihan dan kekurangan, kelebihannya adalah; bus ber-AC, tidak ada pengamen atau pengemis, ongkosnya murah. Sedangkan kekurangannya adalah; bus banyak yang rusak, halte yang tidak terurus dengan baik, agak lama menunggu bus datang, penumpang yang penuh berdesakan di halte. Sedangkan kalau naik angkot lebih mudah karena armadanya banyak, naik atau turun tepat didepan lokasi yang kita tuju jadi tidak perlu jalan jauh. Namun kelemahannya adalah banyaknya pengamen, pengemis dan anak-anak jalanan yang datang silih berganti, menimbulkan ketidaknyamanan dan kengerian tersendiri jika mereka naik kedalam angkot.

Itulah sedikit sharing pengalaman saya menaiki TJ dan angkot. Jadi kalian mau naik yang mana? Itu semua semua terserah kalian, tergantung mana yang lebih mudah dan kemana tujuannya. Yang paling penting adalah selalu berhati-hati ketika berada dijalan dimanapun itu. Selalu berdoa dan waspada, jangan mudah percaya dengan orang lain dijalan, tapi jangan juga terlalu cuek. Pandai-pandailah melihat situasi dan kondisi, carilah jalur yang dirasa paling aman untuk dilalui.

Karena kejahatan bisa terjadi dimana saja. Jadi, WASPADALAH! WASPADALAH! :D





No comments:

Post a Comment

Cara Memupuk Kegemaran Membaca Sejak Kecil Hingga Dewasa

  Sebelum kita membahas cara memupuk kegemaran membaca, mari kita flashback sedikit ke masa di mana kita berada di fase belajar membaca d...