“Emas,
perak dan permata lebih mudah dihimpun kembali. Tapi kitab-kitab sastra dan
pengetahuan jika dicuri, maka butalah
peradaban itu.” (hlm. 328)
Biasanya saya itu mikir
lama dan panjang untuk membeli sebuah buku terbitan baru. Kenapa? Mahal. Haha. Tapi
entah kenapa pesona novel ini begitu menyihir saya (atau lebih tepatnya pesona
dari sang penulisnya kali ya 😄). Begitu saya tahu akan ada PO buku ini di
penerbitnya, yaitu Pro You Media, saya sangat menanti-nanti postingan PO nya di
instagtam. Nah, saat resmi rilis PO, langsung saja saya mengontak nomor yang
tertera dan memesan satu bukunya. Pro You menjanjikan buku ini akan dikirim
pertengahan November 2019, tapi belum sampai pertengahan November buku ini
sudah tiba di alamat saya. Maktuub!
Membaca bab-bab awal,
duh, kok saya sulit masuk ke dalam alur ceritanya ya? Dengan alur maju mundur
dan padatnya tokoh dalam cerita, membuat saya yang memiliki short memory ini, agak sulit mengikuti
alurnya. Tapi saya tidak menyerah. Saya baca lagi dari awal dengan konsentrasi
dan semakin dibaca dan terus dibaca, barulah saya bisa klik dengan alur
ceritanya. Maklum ya, agak lama loadingnya 😅
Novel ini menceritakan
perjuangan salah satu pahlawan nasional, yaitu Pangeran Diponegoro. Saya tidak
begitu paham perjuangan para pahlawan melawan penjajah. Saya hanya tahu atau
kenal nama saja, tidak tahu detil perjuangan mereka. Waktu sekolah dulu pun
tidak mengetahui secara detil tentang sejarah dan perjuangan para pahlawan. Biasanya
bagi banyak orang, membaca atau belajar sejarah itu membosankan. Tapi begitu
kisah-kisah sejarah disajikan dalam bentuk cerita atau novel, saya yakin kalian
akan menikmatinya dengan lahap.
Novel sejarah tentang
pahlawan nasional yang sudah baca tidak banyak. Seingat saya baru dua novel,
yang pertama kisah perjuangan pahlawan wanita dari Aceh, Cut Nyak Dien,
karangan Sayf Muhammad Isa. Dan yang kedua, ya buku ini, kisah perjuangan
Pangeran Diponegoro, Sang Pangeran dan Janissary Terakhir karangan Ustadz Salim
A Fillah yang baru terbit November 2019 lalu.
Peperangan antara
Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda berlangsung dari tahun 1825 hingga
1830. Perjuangan yang begitu panjang ini telah menelan banyak korban, baik dari
pihak Belanda dan rakyat kecil. Pangeran Diponegoro sangat dicintai oleh
rakyatnya. Hal ini mengganggu pikiran penjajah Belanda. Bagi mereka agak sulit
mengalahkan seorang pemimpin yang begitu dicintai rakyatnya.
Pangeran Diponegoro
adalah seorang santri yang begitu taat pada ajaran Islam, bijaksana dan
tentunya sangat mencintai rakyatnya. Dalam perjuangannya ini pun rakyat dengan
ikhlas membantu dan mendukung Sang Pangeran. Di antara para pendukungnya,
banyak terdapat para ulama dan santri, serta yang paling spesial ialah adanya
bantuan dari para Janissary dari kekhalifahan Turki Utsmani. Mereka adalah
Nurkandam dan Basah Katib. Kisah mereka yang paling saya suka dari novel ini 😍
Nurkandam dan Basah Katib
sengaja datang dari Turki menuju Nusantara untuk membantu perjuangan Pangeran
Diponegoro melawan penjajah kafir Belanda. Kisah mereka berdua cukup seru dalam
novel ini. Setelah dibuat kagum oleh kedekatan mereka sebagai sahabat,
kegagahan, ketampanan khas Turki, kepiawaian dalam berperang dan mengatur
strategi, saya dibuat kesal oleh adu domba dan fitnah keji yang dibuat oleh A
Jie, saudara angkat mereka yang keturunan Tionghoa. Saya sangat kesal ketika A
Jie berusaha membebaskan Basah Katib yang tertangkap dan disekap selama tiga
hari oleh Jendral Joost. Dari situ mulai terlihat bahwa A Jie berusaha membuat
fitnah dan mengadu domba Basah Katib dan Nurkandam. Hingga akhirnya mereka
saling membenci dan saling menghunuskan pedang. Siapa yang diuntungkan dari itu
semua? Ya, tentu saja pihak musuh. Jendral dan Kapten Belanda sangat dihibur
dengan pertikaian dua orang paling tangguh dari pendukung Pangeran Diponegoro.
Saya sangat kesal
dengan Nurkandam yang begitu mudah terhasut hingga ia mengedepankan emosi dan
dendam saja. Tapi dalam ketegangan pertikaian mereka berdua, justru ada saja
kata-kata yang membuat saya tertawa membacanya. Ketika Nuryasmin, adik dari
Nurkandam menangis menyesali perbuatan A jie kepada kakak dan suaminya, Basah
Katib, dalam dialognya Nuryasmin berkata, “Syaitan mana yang telah merasukimu?”
Spontan saya langsung teringat salah satu lirik lagu yang sedang hit saat ini “entah
apa yang merasukimu” 😂
Novel ini tidak melulu
isinya ketegangan dalam peperangan. Ada saja dialog-dialog lucu yang terlontar
dari pada tokoh-tokohnya, terutama dua orang abdi yang selalu menemani dan ikut
ke mana pun pangeran Diponegoro keluar masuk hutan. Mereka adalah Joyo Suroto
dan Banteng Wareng. Ada saja cuitan-cuitan jenaka yang membuat pembaca rileks 😌
Dari novel ini, ada
satu informasi yang cukup mengejutkan bagi saya, yaitu salah satu alasan
mengapa Belanda menjajah tanah Nusantara adalah akibat dari kekecewaan Eropa
kepada keputusan Sultan Muhammad Al Fatih. Tapi kalian harus membaca sendiri
agar lebih paham duduk perkaranya. Ustadz Salim tidak hanya memusatkan setting lokasi novel ini di Nusantara,
melainkan kita diajak untuk menelusuri Negara Turki, Mesir dan kota Mekkah.
Dalam setiap perjuangan
pasti ada saja orang-orang yang berkhianat, dan inilah bagian yang paling
memilukan di mana orang-orang terdekat Pangeran meletakkan senjata dan
bergabung dengan musuh. Saya tak sanggup melihat pengkhianat seperti ini. Mereka
yang berkhianat beralasan ingin menghentikan perang karena kasihan melihat
penderitaan rakyat. Saya tidak habis pikir kenapa mereka bergabung dengan
penjajah yang justru akan menyengsarakan rakyat? Sejatinya semua karna harta
dan jabatan. Mereka luluh oleh iming-iming dan hadiah yang diberikan oleh Belanda
yang licik itu.
Selain menceritakan
tentang kisah peperangan melawan Belanda, novel ini juga menampilkan kisah
cinta yang cukup rumit antara Nurkandam, Fatmasari dan Soffiyah. Dan yang cukup
mengejutkan adalah kisah cinta Basah Katib. Banyak juga terdapat kutipan dan
puisi menarik tentang cinta yang pastinya membuat pembaca baper 💕
“Tidak
ada yang disebut gagal dalam cinta. Kita ini makhluk merdeka soal cinta. Kita akan
selalu berhasil mencintai. Soal dicintai atau tidak itu memang diluar kendali
kita. Dan kita tak perlu
merasa untung atau rugi atas hal yang tak kita kuasai.’ (hlm. 350)
“Seandainya
kebersamaan hakiki itu ada di dunia ini, niscaya takkan pernah aku membiarkan
Kanda beranjak dari sisiku walau sedetik pun. Namun, kita sama-sama tahu bahwa
kebersamaan sejati adanya di surga nanti. Maka aku izinkan Kanda untuk pergi
sejenak, berjuang di jalan Allah, mengumpulkan bekal kita untuk akhirat sana,
agar kebersamaan kita di surga nanti jauh lebih indah lagi.”
(hlm. 400)
Ah, membaca novel itu
memang seru. Apalagi bercampur rasa saat membacanya. Ada kesal, haru, takjub,
benci, pilu, kocak, semua jadi satu. Puncaknya adalah di bagian epilog yang
menggambarkan pertemuan kembali Basah Katib dengan junjungannya, Kanjeng
Pangeran Diponegoro dalam kondisi yang memilukan. Maka tumpahlah air mata saya
di bab terakhir ini. Meski mengagumkan, novel ini tak luput dari kesalahan
ketik yang cukup membingungkan saat membacanya terutama pada bagian yang
menjelaskan maqbul dan maktul.
Novel pertama dari tetralogi
yang akan dibuat ini cukup mebuat penasaran untuk membaca tiga novel lainnya. Tapi
sepertinya masih akan lama untuk rilis novel kedua, ketiga dan keempatnya. Baiklah,
mari kita tunggu saja hadirnya kelanjutan novel sejarah yang menggugah ini.
“Kekalahan
itu ketika kita ditinggalkan Gusti Allah meskipun kita menang perang, punya
banyak kawan serta pengikut. Sebaliknya, yang disebut kemenangan adalah tetap
bersama Gusti Allah meskipun kita tinggal sendirian atau binasa dalam
perjuangan.” (hlm. 443)
Judul : Sang Pangeran dan Janissary
Terakhir
Penulis :
Salim A Fillah
Penerbit : Pro You Media
Cetakan : I, November 2019
Tebal :
632 halaman
No comments:
Post a Comment